Liberalisme
dan Pers
Kontribusi Liberalisme pada media massa
adalah pemikiran: “Bahwa setiap
manusia/individu adalah bernilai dan memiliki daya pikir, analisa dan
penilaiannya. Bersamaan dengan itu juga, setiap manusia menyandang hak azasi
yaitu hak beragama serta berbicara dimana PERS adalah bagian daripadanya.” Kerajaan yang tadinya berkuasa atas
kepemilikan (harus mendapat lisensi/permit dari kerjasaan) dan konten media
massa, tergeser. Demikian juga dengan gereja yang tadinya banyak berperan
sebagai regulator.
“Biarlah semua yang memiliki aspirasi
untuk berbicara dan berpendapat, bebas berbicara. (Pendapat) Yang benar akan tetap bertahan,
adapun yang salah akan hilang. Pemerintah harus tetap berada diluar pentas adu
argument tidak berusaha memihak pendapat manapun,”demikian dikatakan oleh John
Milton salah satu tokoh Libertarian Press dari Inggris. Tidak hanya itu, menurut Milton, pemerintah
juga harus menghentikan praktek sensorshipnya bahkan terhadap pendapat yang
“miring” sekalipun. Pendapat terakhir dari Milton ini didukung oleh tokoh
Libertarian Press lain, John Wilkes. Menurutnya, TIDAK ada satu media pun yang
dengan SENGAJA berpikiran melenceng (mislead). Kalaupun ada yang terkesan demikian
tujuannya adalah untuk “mencerahkan” orang lain dan merangsang pemikiran baru.
Pemikiran Libertarian lain adalah Thomas
Jefferson, seorang filsuf juga orang pemerintahan. Pemikirannya banyak dipakai oleh teori
Jurnalistik hingga saat ini saat menjelaskan fungsi pers. Dikatakan, fungsi
utama dari pemerintah adalah mengembangkan serta menjaga framework dimana
setiap warganegara dapat mencapai tujuan hidupnya. Adapun PRESS harus ikut
berpartisipasi dalam semua konsep tersebut dengan cara mengedukasi warga, dan
disaat yang sama mengawasi setiap penyelewengan yang dilakukan oleh pemerintah
dari fungsi awalnya (watchdog).
Kebebasan bagi pers di Inggris akhirnya
tiba, ketika tahun 1694 sistem Lisensi
(di Indonesia serupa SIUPP) dihapuskan, demikian juga dangan “instrument
kontrol” lain seperti perpajakan khusus, subsidi kepemilikan dan modal dari
pemerintah, dan berbagai hukum (pasal karet/penghindaan dan penyesatan) yang
dapat menjerat mass media keranah criminal.
Ada dua hal yang menjadi perdebatan terkait
dengan kebebasan pers pada Libertarian State diabad ke-18. Pertama terkait
dengan “Pasal Penghasutan” dan kedua hak pers untuk mempublikasikan
kegiatan/proses kerja pemerintahan.
Terkait dengan Seditious Libel, seperti
diketahui pada masa Authoritarian Politic baik di Inggris maupun Amerika,
penguasa berhak mengkontrol setiap publikasi yang mengkritik mereka. Hakim,
yang adalah perpanjangan tangan penguasa, memutuskan apakah berita/informasi
yang dipublikasikan “membahayakan” kestabilan pemerintahan. Setelah melalui
perdebatan panjang, Seditious Libel akhirnya dihapuskan baik di Amerika (lewat
Constitutional Provision) mupun di Inggris (lewat Parliamentary Act) pada tahun
1843.
Terobosan kedua dimasa Libertarian
adalah hak media untuk meliput diruang ruang pemerintah/parlemen. Hal ini
sangat tidak mungkin dilakukan pada era sebelumnya dimana “ruang kerja
penguasa” steril dan BUKAN ruang public. Namun dimasa kebebasan pers, media berpendapat bahwa anggota parlemen
adalah representasi dan bekerja untuk rakyat maka wajar jika semua debat dan
pembahsan yang merek lakukan terbuka bagi public.
Kendati terkesan bebas namun sebenarnya
tetap ada batasan yang dikenakan pada pemberitaaan media. Adalah mustahil jika
kebebasan tersebut bersifat mutlak. Pertanyaannya, sampai dimana batas
kebebasan tersebut? Dan bagaimana mensupervisi dan mencegahnya kebablasan jika
praktek sensorship telah dianggap illegal? Bagaimanapun setiap kebebasan memiliki batas,
yaitu kebebasan orang lain.
Status
dan Fungsi Media Massa di Era Demokrasi
Dalam Libertarian konsep, fungsi mass
media adalah informasi dan hiburan. Fungsi ketiga lahir kemudian, karena
dinilai terkait fungsi pertama dan kedua, yaitu independensi secara keuangan.
Ini terkait dengan pemuatan konten iklan atau advertise. Jika ditelusurui maka
fungsi utama pada Libertarian adalah mengungkapkan kebenaran, membantu
menyelesaikan sengketa atau konflik dibidang politik dan ekonomi dengan menjadi
sumber literasi dan informasi yang sahih dan valid. Para pendukung konsep ini maklum betul bahwa
didalam memenuhi fungsi tersebut, besar kemungkinan media “slip of tongue”.
Namun, pemerintah tetap tidak punya hak untuk kemudian melakukan kontrol dan
limitasi. Yang menjadi pusat kontrol adalah society atau public. Media yang
terlalu sering salah perlahan akan kehilangan pangsa pembacanya dan tidak lagi
dipercaya. Karena public sebagaimana asumsi yang dipakai oleh Libertarian
adalah individu yang memiliki “power of reason” dan dapat menilai. Seluruh
proses ini disebut dengan “self-righting” process.
Tidak seperti pada massa otoritarian,
pada masa Libertarian semua individu (bahkan alien sekalipun) memiliki hak
untuk masuk dalam industry ini. Sebagaimana industry lain diera liberalism,
para pemain media pun dipersilahkan untuk bertarung sehat dipasar terbuka.
Lalu, apakah benar benar tidak ada
pengawasan terhadap mass media dan sepenuhnya hanya pada pembaca? Atas
pertanyaan ini bahkan para tokoh kebebasan di Inggris dan Amerika sepakat bahwa
pemerintah memang tidak mungkin sepenuhnya lepas tangan. Namun, ‘makin sedikit
campur tangan pemeritnah akan makin baik.’
Peran penguasa terbatas pada distribusi yang pada masa lampau masih
menggunakan pos. Sekarang, memasuki abad
ke-19 dan abad ke-20 distribusi pun telah dilempar keswasta melalui agen agen
besar dan nasional.
Selanjutnya bagaimana dengan konten,
apakah benar benar tidak ada kontrol sama sekali sehingga media bebas menulis
APA SAJA? Ternyata tidak. Pertama, semua
pendukung demokrasi sepakat bahwa media tidak boleh melakukan pencemaran nama
baik terhadap seseorang. Lalu bagaimana
jika yang dicela itu adalah pegawai negara/pejabat? Bukankah doktrin
Libertarian mengatakan pejabat harus terbuka untuk dikritik? Setelah melalui pembahasan, di Amerika
Serikat akhirnya disepakati bahwa pejabat negara ‘sedikit’ dilindungi oleh UU
Pencemaran namabaik. Selain itu, para
pendukung Libertarian juga sepakat bahwa perlu ada perlindungan konten media
dari porno dan cabul.
[BERSAMBUNG]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar