Pers
di Modern Liberatarian Theory
Yang menjadi perdebatan hingga saat ini,
seperti dibahas diparagraf sebelumnya adalah: Batasan BEBAS didalam kebebasan
pers diera demokrasi. Didalam setiap
kasus pers kebablasan, pertanyaan tersebut selalu muncul. Untuk menjawab itu, Jaksa
Agung Brandeis dan Jaksa Agung Holmes dari Mahkamah Agung Amerika memiliki
formula jika harus memimpin sidand kemelut pers: “Pertanyaan disetiap kasus
kita harus menganalisa apakah kata kata yang diungkapkan oleh pers, pada
konteks penulisannya dapat menimbulkan bahaya seketika, sedemikian rupa yang
dapat membangkitkan pengaruh buruk sehingga harus ditangkal oleh Kongres. Ini
adalah tentang level bahanyanya.” Hingga
saat ini, formula tersbut disebut dengan “Clear and Present Danger Test.”
Untuk mengamankan beritanya dari TEST
tadi, maka media di Amerika menerapkan satu konsep jurnalistik yaitu “Reportase
Objective” atau di Indonesia sering kita sebut “liputan berimbang.” Konsep ini kemudian berkembang dari Amerika,
ke Inggris hingga seluruh dunia. Media
media yang partisan (republic maupun democrat) mau tidak mau harus mengikuti
kaidah jurnalistik demokrasi tersbut dan menghilangkan semua bias. Kantor berita menginstruksikan semua
reporternya bahwa semua berita yang
mereka tulis akan dibaca baik oleh Republik maupun oleh Demokrat, sehingga
harus objektif dan tidak bias. Yang
menarik adalah, belakangan konsep jurnalistik ini juga mendapat kritik tajam.
Sebabnya, karena terpaku pada mashab “harus objektif” maka media massa
kehilangan ketajaman dan daya kritisnya dan melupakah tujuan sosial mereka
yakni menyatakan kebenaran.
Memasuki abad kesembilan belas, skala
pemerintahan semakin membesar. Jika tadinya wartawan dengan leluasa dapat
meliput hampir seluruh kegiatan pemerintah local maupun nasional maka kini
banyak sekali pembahasan dilevel nasional yang luput untuk diliput. Apalagi,
untuk urusan yang terkait luar negeri yang sekali diberi embel embel
“rahasia.” Saat perang dunia kedua,
kerahasiaan ini semakin meluas tidak hanya yang menyangkut kebijakan luar
negeri tapi juga militer. Sejalan berjalannya waktu, ruang akses media terus
dipersempit hingga informasi yang melibatkan perpajakan (taxation) atau kinerja
keuangan. Hingga buku ini ditulis, perdebatan terus berlanjut. Disatu sisi para
theorist Libertarian menuntut semua “ruang pemerintahan” dibuka aksesnya tapi
disisi lain ada juga kepentingan yang lebih besar yang membatasi.
Motion
Picture Pada Libertarian.
Lahirnya motion picture (teknologi
gambar bergerak) pada abad ke-20 dan berbagai bentuk broadcasting menjadi
masalah baru bagi para Libertarian. Karena kesamaan formatnya dengan film
dibioskop, sebagai bentuk hiburan dan tidak seperi media massa maka pemerintah
menganggap masih memiliki kontrol atasnya.
Kebebasan akan konten motion picture terlupakan. Oleh kelompok Reformis
Protestan, gambar bergerak tidak terlalu diperjuangkan haknya seperti pada
media cetak. Serupa dengan itu kaum pendukung Libertarian juga tidak
menggangkap motion picture hal penting.
Padahal, sejak Perang Dunia I, motion picture memainkan peran yang
sangat penting dalam membentuk opini dan mengemas informasi. Film film documenter diproduksi dalam jumlah
yang cukup besar, baik yang mengusung tema informasi maupun edukasi. Dan selama
beberapa generasi, film mengalami sensorship yang cukup ketat. Hal ini tentu
saja menimbulkan tanda tanya: mengapa media cetak dibebaskan dan film tidak?
Padahal film lebih “tidak berbahaya” jika ditilik bahwa kontennya sebagian
besar bermakna hiburan dan ditonton oleh remaja. Kegalauan ini dijawab oleh The Commision on
Freedom of the Press, yang dikepalai oleh Robert M Hutchins setelah melakukan
serangkaian pendalaman. Komisi Kebebasan
Pers ini menjamin bahwa kebebasan yang diberikan oleh pemerintah tidak hanya
kepada media cetak namun juga mencakup motion pictures atau film.
Broadcasting
in Libertarian Theory
Broadcasting, setelah motion picture,
adalah hal lain yang cukup membuat pusing para pendukung Libertarian.
Didalamnya termasuk segala bentuk komunikasi yang menggunakan gelombang radio,
dan televisi.
Komunikasi via radio kemudian
dikeluarkan dari kategori mass media karena sifatnya yang point to point.
Sementara telepon dan telegraph adalah memang dalam wilayah kekuasaan negara
(udara). Nah, broadcasting adalah mahluk yang berbeda karena konten
ditransmisikan via gelombang dan dapat ditangkap oleh siapa saja. Dalam hal tersebut, keberadaannya sama dengan
koran. NAMUN, media untuk menyampaikan konten adalah via gelombang elektromagnetik
yang besarannya terbatas atau ditentukan oleh pemerintah. Untuk kondisi yang seperti ini, masing masing
negara memilih pendekatan yang berbeda.
Prancis, mengembangkan broadcast yang dimiliki oleh pemerintah sepenuhnya.
British/Inggris boleh dimiliki oleh public yang bertanggung jawab kepada
pemerintah yang berkuasa. Adapun Amerika, dimiliki oleh swasta dibawah
pengawasan dari Kongres.
Broadcaster sendiri menuntut adanya
kesamaan perlakuan dengan media cetak dalam hal kebebasan berpendapat. Menurut
mereka kewengan pemerintah HANYA terbatas pada pemberian frekwensi, tapi BUKAN
pada konten. Setelah tarik ulur selama beberapa tahun di Amerika keluarlah apa
yang disebut The Blue Book. Dalam dokumen tersebut komisi pengawasan
menguraikan standard penyiaran yang harus dipenuhi jika tidak ingin frekwensi
gelombang siarannya dicabut.
Libertarian
Press Berbagai Belahan Dunia
Amerika Serikat dan Inggris adalah
pelopor bagi lahirnya konsep Libertarian. Namun, negara negara lain pada
akhirnya sedikit atau banyak mulai mengadopsi konsep ini juga. Hampir disemua negara yang mengaku demokratif
juga akan memberlakukan kebebasan pers dan kebebasan berpendapat. Setelah
Perang Dunia I, banyak negara malah memperkuat dukungannya terhadap kebebasan
pers dan berbicara lewat undang undang. Contohnya Pilipina (1935) pada Artikel
8, berbunyi “Tidak ada satu hukum pun yang akan diloloskan yang dapat
menghambat kebebasan pers dan rakyat berbicara.” Israel juga melakukan hal yang sama. Namun,
ada juga negara yang melakukan kebijakan adaptif. Jadi, ketika situasi negara aman
memberlakukan Libertarian tapi ketika terjadi krisis pemerintah menjadi
otoriter dan melakukan kontrol. Contohnya adalah Kolombia.
Setelah PD II, harapan kaum Libertarian
agar konsep kebebasan berekspresi semakin mendunia, menjadi kenyataan. Hal
ditandai dengan berdirinya United Nations yang menyuarakan “Hak Azasi Manusia”
ala tradisi liberalism. Salah satu badan
dibawah UN adalah Sub Komisi Freedom of
Information yang berdiri tahun 1948, dengan fungsi utama membantu penyelesaian
konflik pelanggaran kebebasan pers.
(selesai)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar