Rabu, 09 September 2015

Memahami Teori LIberalisme Pada Media Massa [3/3] - TAMAT



Pers di Modern Liberatarian Theory
Yang menjadi perdebatan hingga saat ini, seperti dibahas diparagraf sebelumnya adalah: Batasan BEBAS didalam kebebasan pers diera demokrasi.  Didalam setiap kasus pers kebablasan, pertanyaan tersebut selalu muncul. Untuk menjawab itu, Jaksa Agung Brandeis dan Jaksa Agung Holmes dari Mahkamah Agung Amerika memiliki formula jika harus memimpin sidand kemelut pers: “Pertanyaan disetiap kasus kita harus menganalisa apakah kata kata yang diungkapkan oleh pers, pada konteks penulisannya dapat menimbulkan bahaya seketika, sedemikian rupa yang dapat membangkitkan pengaruh buruk sehingga harus ditangkal oleh Kongres. Ini adalah tentang level bahanyanya.”  Hingga saat ini, formula tersbut disebut dengan “Clear and Present Danger Test.”

Untuk mengamankan beritanya dari TEST tadi, maka media di Amerika menerapkan satu konsep jurnalistik yaitu “Reportase Objective” atau di Indonesia sering kita sebut “liputan berimbang.”  Konsep ini kemudian berkembang dari Amerika, ke Inggris hingga seluruh dunia.  Media media yang partisan (republic maupun democrat) mau tidak mau harus mengikuti kaidah jurnalistik demokrasi tersbut dan menghilangkan semua bias.  Kantor berita menginstruksikan semua reporternya  bahwa semua berita yang mereka tulis akan dibaca baik oleh Republik maupun oleh Demokrat, sehingga harus objektif dan tidak bias.  Yang menarik adalah, belakangan konsep jurnalistik ini juga mendapat kritik tajam. Sebabnya, karena terpaku pada mashab “harus objektif” maka media massa kehilangan ketajaman dan daya kritisnya dan melupakah tujuan sosial mereka yakni menyatakan kebenaran.

Memasuki abad kesembilan belas, skala pemerintahan semakin membesar. Jika tadinya wartawan dengan leluasa dapat meliput hampir seluruh kegiatan pemerintah local maupun nasional maka kini banyak sekali pembahasan dilevel nasional yang luput untuk diliput. Apalagi, untuk urusan yang terkait luar negeri yang sekali diberi embel embel “rahasia.”  Saat perang dunia kedua, kerahasiaan ini semakin meluas tidak hanya yang menyangkut kebijakan luar negeri tapi juga militer. Sejalan berjalannya waktu, ruang akses media terus dipersempit hingga informasi yang melibatkan perpajakan (taxation) atau kinerja keuangan. Hingga buku ini ditulis, perdebatan terus berlanjut. Disatu sisi para theorist Libertarian menuntut semua “ruang pemerintahan” dibuka aksesnya tapi disisi lain ada juga kepentingan yang lebih besar yang membatasi.

Motion Picture Pada Libertarian.
Lahirnya motion picture (teknologi gambar bergerak) pada abad ke-20 dan berbagai bentuk broadcasting menjadi masalah baru bagi para Libertarian. Karena kesamaan formatnya dengan film dibioskop, sebagai bentuk hiburan dan tidak seperi media massa maka pemerintah menganggap masih memiliki kontrol atasnya.  Kebebasan akan konten motion picture terlupakan. Oleh kelompok Reformis Protestan, gambar bergerak tidak terlalu diperjuangkan haknya seperti pada media cetak. Serupa dengan itu kaum pendukung Libertarian juga tidak menggangkap motion picture hal penting.  Padahal, sejak Perang Dunia I, motion picture memainkan peran yang sangat penting dalam membentuk opini dan mengemas informasi.  Film film documenter diproduksi dalam jumlah yang cukup besar, baik yang mengusung tema informasi maupun edukasi. Dan selama beberapa generasi, film mengalami sensorship yang cukup ketat. Hal ini tentu saja menimbulkan tanda tanya: mengapa media cetak dibebaskan dan film tidak? Padahal film lebih “tidak berbahaya” jika ditilik bahwa kontennya sebagian besar bermakna hiburan dan ditonton oleh remaja.  Kegalauan ini dijawab oleh The Commision on Freedom of the Press, yang dikepalai oleh Robert M Hutchins setelah melakukan serangkaian pendalaman.  Komisi Kebebasan Pers ini menjamin bahwa kebebasan yang diberikan oleh pemerintah tidak hanya kepada media cetak namun juga mencakup motion pictures atau film.

Broadcasting in Libertarian Theory
Broadcasting, setelah motion picture, adalah hal lain yang cukup membuat pusing para pendukung Libertarian. Didalamnya termasuk segala bentuk komunikasi yang menggunakan gelombang radio, dan televisi. 

Komunikasi via radio kemudian dikeluarkan dari kategori mass media karena sifatnya yang point to point. Sementara telepon dan telegraph adalah memang dalam wilayah kekuasaan negara (udara). Nah, broadcasting adalah mahluk yang berbeda karena konten ditransmisikan via gelombang dan dapat ditangkap oleh siapa saja.  Dalam hal tersebut, keberadaannya sama dengan koran. NAMUN, media untuk menyampaikan konten adalah via gelombang elektromagnetik yang besarannya terbatas atau ditentukan oleh pemerintah.  Untuk kondisi yang seperti ini, masing masing negara memilih pendekatan yang berbeda.  Prancis, mengembangkan broadcast yang dimiliki oleh pemerintah sepenuhnya. British/Inggris boleh dimiliki oleh public yang bertanggung jawab kepada pemerintah yang berkuasa. Adapun Amerika, dimiliki oleh swasta dibawah pengawasan dari Kongres.

Broadcaster sendiri menuntut adanya kesamaan perlakuan dengan media cetak dalam hal kebebasan berpendapat. Menurut mereka kewengan pemerintah HANYA terbatas pada pemberian frekwensi, tapi BUKAN pada konten. Setelah tarik ulur selama beberapa tahun di Amerika keluarlah apa yang disebut The Blue Book. Dalam dokumen tersebut komisi pengawasan menguraikan standard penyiaran yang harus dipenuhi jika tidak ingin frekwensi gelombang siarannya dicabut.

Libertarian Press Berbagai Belahan Dunia
Amerika Serikat dan Inggris adalah pelopor bagi lahirnya konsep Libertarian. Namun, negara negara lain pada akhirnya sedikit atau banyak mulai mengadopsi konsep ini juga.  Hampir disemua negara yang mengaku demokratif juga akan memberlakukan kebebasan pers dan kebebasan berpendapat. Setelah Perang Dunia I, banyak negara malah memperkuat dukungannya terhadap kebebasan pers dan berbicara lewat undang undang. Contohnya Pilipina (1935) pada Artikel 8, berbunyi “Tidak ada satu hukum pun yang akan diloloskan yang dapat menghambat kebebasan pers dan rakyat berbicara.”  Israel juga melakukan hal yang sama. Namun, ada juga negara yang melakukan kebijakan adaptif.  Jadi, ketika situasi negara aman memberlakukan Libertarian tapi ketika terjadi krisis pemerintah menjadi otoriter dan melakukan kontrol. Contohnya adalah Kolombia.

Setelah PD II, harapan kaum Libertarian agar konsep kebebasan berekspresi semakin mendunia, menjadi kenyataan. Hal ditandai dengan berdirinya United Nations yang menyuarakan “Hak Azasi Manusia” ala tradisi liberalism.  Salah satu badan dibawah UN adalah  Sub Komisi Freedom of Information yang berdiri tahun 1948, dengan fungsi utama membantu penyelesaian konflik pelanggaran kebebasan pers.

(selesai)



Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Recent Posts