[tulisan ini adalah bagian dari makalah akademis pada paskasarjana UPH]
----------
MARXISME PADA
MEDIA DAN BUDAYA
Jika
Hegel memandang bahwa perkembangan sejarah manusia ditentukan oleh perkembangan
gagasan atau ide (deterministic gagasan/abstrak) maka Marx berpegang pada
segala sesuatu yagn sifatnya materiil. Karl
Marx sendiri adalah seorang Economic Theorist pada awal abad ke-10. Fokusnya
adalah pada relasi antara kehidupan sosial politik dengan kekuatan ekonomi.
Bagi
Marx segala sesuatu yang sifatnya immaterial seperti konseptual, gagasan, bahkan
kepercayaan (agama) adalah sesuatu yang semu belaka. “Tidak ada gunanya ide bagus, demokrasi dan
musyarakat selama perut kaum miskin masih lapar,” demikian kurang lebih gagasan
dasar yang membuat Marxist menolak deteriministik ide ala Hegel dan
menggantinya menjadi Deterministik Materiil (produksi) ala Karl Marx.
Ketika
memandang sejarah peradaban manusia, maka Marx membaginya dalam empat tahapan
dimana puncaknya adalah komunisme:
Pertama,
masyarakat feodalisme, dimana
faktor-faktor produksi berupa tanah pertanian dikuasai oleh tuan-tuan tanah.
Kedua,
pada masa kapitalisme hubungan antara
kekuatan dan relasi produksi akan berlangsung, namun karena terjadi
peningkatan output dan kegiatan ekonomi, sebagaimana feudalisme juga mengandung
benih kehancurannya, maka kapitalisme pun akan hancur dan digantikan dengan
masyarakat sosialis.
Ketiga,
masa sosialisme dimana relasi produksi
mengikuti kapitalisme masih mengandung sisa-sisa kapitalisme, dan
Keempat,
pada masa komunisme, manusia tidak
didorong untuk bekerja dengan intensif uang atau materi.
Didalam
masyarakat, pertentangan atau konflik menurut Marx terjadi karena adanya
perebutan kepentingkan antara kelas borjuis yang pada akhirnya menggilas kelas
buruh atau proletar. Itu sebabnya ia
mengusulkan ‘Masyarakat Tanpa Kelas’ sebagai sebuah jalan keluar menunju
kesejahteraan.
Sementara
pada Liberalisme, perbedaan klas sama sekali tidak dilihat sebagai sebuah
konflik. Perbedaan lebih diartikan sebagai sebuah persaingan. Sesuatu yang
wajar, karena “berbeda adalah wajar” karena setiap kelompok atau klas memiliki
fungsi yang khusus didalam kehidupan bermasyarakat. Pandangan seperti ini
disebut dengan “Functionalist Model of Society”. Jadi, kaum buruh misalnya memang
berfungsi sebagai pekerja. Lalu, mereka yang memiliki modal sebagai
tuan/management, aparat sebagai penegak hukum, media sebagai watchdog dan
sarana informasi dan seterusnya. Keseluruhan bagian ini menyatu (kohesif) dan
bergerak secara parallel dalam sebuah system sosio-budaya. Seperti disebut diatas, konsep Functionalist
model ini ditentang oleh Marx karena akan menimbulkan konflik didalam
masyarakat.
Selain
soal perebutan kepentingan antara kelas, konflik
dalam paham Marxist juga bisa terjadi karena klas
dominan dalam rangka mempertahankan kekuasaannya akan berusaha ME-LEGITIMASI ide
dan nilai-nilai mereka. Ide dan nilai
yang dilegitimasi ini disebut IDE-OLOGI. Dengan kata lain, IDEOLOGI (seperti Pancasila atau Demokrasi)
bukanlah sesuatu yang luhur didalam pandangan Marxis. Ideologi tak lain dari sebuah pemahaman yang
semu, yang sengaja dipropagandakan oleh klas tertentu untuk memperkuat
posisinya.
Nah, ideologi seperti ini yang terus menerus
dicekoki kebenak masyarakat oleh kelompok penguasa untuk mempertahankan status
quonya. Logikanya adalah, untuk berkuasa maka klas dominan membutuhkan MASSA.
Untuk mencapai massa, mereka membutuhkan sebuah MEDIA. Inilah yang melahirkan
media massa, yakni sebagai alat klas dominan.
[BERSAMBUNG]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar