Rabu, 19 Agustus 2015

Memahami Teori Otoriter [Authoritarian Theory] Pada MASS MEDIA [1/2]

Sejarah Media Massa didalam peradaban dunia modern telah mengalami pasang turut dan begitu banyak metamorfosa. Untuk memahami bagaimana perjalanan pasang surut, dan segala perdebatan didalamnya maka kita harus melihat dari titik awal berkembangnya media massa.

Awalanya adalah Normative theories yang dikembangkan oleh Fred Siebert, Theodore Peterson dan Wilbur Schramm didalam bukunya “Four Theories of the Press”. Teori Normatif – yang terdiri dari EMPAT teori dasar media -- menjelaskan tentang bagaimana media beroperasi dan dikontrol oleh pemerintah/otoritas/publik. Teori yang dimaksud adalah: Authoritarian Theory, Liberalitalin Theory, Social Responsibility Theory dan Communist – Soviet Theory.

Berbeda dengan teori komunikasi lain maka keempat teori diatas diperoleh dari rangkaian penelitian dan kajian ilmiah (science), melainkan dari pengalaman praktis banyak sumber seperti praktisi media, pengamat sosial dan tentu saja kalangan akademisi. Press Normative Theories lebih menitik beratkan tentang relasi Media Massa (Press) dengan Pemerintah, tentang kepemilikan media dibandingkan relasi Pers dan pembaca/audiens.

Normative teori dibuat atas sejumlah asumsi, yakni (1) Sifat/Hakekat Manusia (2) Sifat dan hakekat negara dan masyarkat (3) Relasi antara manusia dan negara (4) masalah dasar filsafat yaitu sifat dan hakekat pengetahuan dan sifat kebenaran.

Sifat Manusia adalah bahwa sebagai individu setiap kita hanya dapat mengeluarkan potensi dan kemampuan yang ada ketika ketika berada dalam sebuah masyarakat. Ketika kita sendiri pencapaian kita sangat terbatas (tidak ada persaingan, dan tujuan besar, tidak ada goal dan visi yang harus kita capai). Sebaliknya kita berada dalam satu komunitas maka kita akan “dipaksa” untuk menjadi lebih baik sehingga tujuan dan target kita akan terus berkembang. Inilah yang membuat kita “hidup”.

Negara, selanjutnya adalah sebuah wadah dimana semua tujuan individu itu terfasilitasi dan saling bersinergi. Negara akan membuat aturan dan atribut sehingga tujuan atau visi satu individu tidak menjadi sandungan bagi yang lainnya. Pada akhirnya negara harus bertanggung jawab mensejahterakan (dianggap sebagai tujuan universal semua orang) setiap individu/manusia yang hidup didalamnya tanpa pandang bulu.

Dalam rangka mencapai SEMUA tujuan warganegaranya maka negara memerlukan metode (misalnya harus membangun infrastruktur kah? Berhutang kah? Menjadi bagian dari ASEAN/OPEC kah? Dan seterusnya). Metode ini terkadang ditemukan dengan serangkaian analisas ilmu pengetahuan atau dengan tuntunan Tuhan (divine guidance – misalnya bahwa orang harus saling mengasihi, menolong dan menghormati). Metode tidak hanya terkait dengan hal bersifat ilmu tapi juga pembinaan mental (kebenaran). Inilah yang kemudian melahirkan filosofi ilmu pengetahuan dan filosofi etika.

Tulisan ini akan mengulas dan mengelaborasi tentang Authoritarian Theory, tentang konsep dan definisi, latar belakang dan landasan teori politik yang membentuknya dan penerapannya dalam dunia pers di Indonesia dari waktu ke waktu.


Authoritarian theory


Defenisi Teori

Teori ini menjelaskan bahwa semua bentuk komunikasi adalah dibawah kontrol pemerintah, kaum elit, dan kaum birokrat. Tindakan ketat seperti ini dibutuhkan untuk melindungi dan menghindarkan warganegara dari segala ancaman yang dapat timbul dari informasi dan berita. Tapi sebenarnya yang ingin ditunjukkan oleh penguasa adalah bahwa mereka BERKUASA, termasuk untuk mengkontrol berita yang dimuat. Bahwa ini dilakukan untuk melindungi warganegara dari penyimpangan berita sebenarnya adalah alasan klise.

Ketika pemerintah menjadi otoriter terhadap mass media maka segala perijinan dan lisensi untuk membuka dan memulai sebuah media massa akan diperketat. Tidak hanya itu, ketika media sudah berjalan maka pemerintah akan memberlakukan sensor berita yang intens. Lalu, ketika media dianggap (oleh pemerintah) melanggar ketentuan (keinginan?) maka otoritas/yang berwenang berhak untuk membatalkan atau menarik ijin operasi termasuk ijin terbit dan ijin tayang. Sekilas seakan akan media bekerja untuk pemerintah, padahal dalam kenyataannya tidaklah demikian. Media dimiliki oleh pihak independen, swasta, yang seharusnya tidak dapat diperlakukan sewenang wenang oleh otoritas.


Latar Belakang Pemikiran Para Filsuf

Authoritarian tentu tidak muncul dengan sendirinya. Ada sebuah pemikiran besar, atau tepatnya konsep besar yang melatarbelakangi yakni Filasfat Akan Aristorasi pemerintah dari PLATO.

PLATO dalam karya tulisannya Republic menguraikan tentang sebuah sistem politik. Termasuk didalamnya pembagian warganegara, dan bagaimana komponen dalam sebuah negara (termasuk media/pers) ditempatkan dan berelasi dengan penguasa. Semuanya ini terkait dengan bagaimana sistem politik yang ideal menurut Plato, yang tujuan akhirnya adalah terwujudnya sebuah ‘keadilan.’

Plato memulai uraiannya dengan membagi warganegara kedalam tiga kelas: rakyat biasa, prajurit dan wali (guardian). Hanya wali atau penguasa inilah yang memiliki kekuasaan politik. Ia mengasumsikan kaum wali ini adalah para filsuf, orang orang arif bijaksana yang tidak mementingkan diri sendiri. Itu sebabnya kaum ini tidak saja layak untuk diistimewakan, namun memang sudah selayaknya demikian demi kepentingan seluruh warganegara.

Para kaum wali ini mendapat pendidikan yang sangat terstruktur, dengan subjek pelajaran yang terpilih. Mereka adalah kaum yang sejak lahir telah “dikuduskan”, dibedakan dari kaum lain. Pendidikan yang mereka dapat dibagi dalam dua bagian: gimnastik dan music. Namun kedua hal ini JAUH dari terminology yang kita kenal sekarang. Musik misalnya, tidak sesempit pemahaman musik pada masa ini tetapi lebih kepada aspek budaya. Sementara gimnastik merujuk kepada perihal skill fisik (tubuh) yang dibentuk dan dijaga dengan sedemikian sempurna. Makanan bagi kaum Wali hanya dibatasi dengan ikan atau daging yang dipanggang. Tujuannya agar mereka yang dibesarkan diresimennya tidak memerlukan dokter alias sehat sempurna seluruhnya.

Para kaum pilihan ini juga “diasingkan” dari segala pengaruh informasi buruk hingga pada usia tertentu. Ada SENSOR yang ketat sejak tahun pertumbuhan paling dini, termasuk bacaan yang boleh diakses dan music yang boleh didengar oleh para kaum muda.

Dapat dilihat bahwa dalam pemikiran politik PLATO, memang harus ada kontrol terhadap informasi. Kontrol atau SENSOR ini adalah untuk menjaga “kemurnian” sebuah kaum atau generasi, atau untuk cakupan yang lebih luas yakni NEGARA.

Dari sebagian besar karya Plato, terlihat bahwa pemikiran politik Plato sangat jauh dari asumsi asumsi yang dianggap sebagai sentral bagi pemikiran liberal maupun demokrasi. Di dalam Republica ia mengkritik kesetaraan demokratis dan kebebasan dalam menyampaikan informasi. Tampaknya filsuf Yunani ini sangat mendewakan sebuah “tatanan keteraturan” sebagaimana benda benda angkasa yang menurut temuan para filsafat abad itu bergerak dalam sebuah keteraturan.

Bagi Plato, kebebasan dalam menyebarkan informasi akan mendorong etos serba permisif, yang pada dasarnya dapat menimbulkan anarkis.

Machiavelli, sedikit berbeda dengan Plato, tidak terlalu mementingkan perkara menjaga moral masyarakat (yang menjadikan kaum wali/the guardian sebagai acuan Plato) dan seterusnya. Ia bahkan menentang hubungan antara agama dan negara karena hanya akan menimbulkan kerusuhan. Menurut Machiavelli, yang terpenting adalah bagaimana pemerintah dapat mempertahankan kekuasaannya. Apapun yang dapat mendukng hal tersebut, adalah benar. Menurutnya negara yang baik adalah negara yang memiliki sistem militer yang kuat dan penguasa yang berjiwa besar untuk mempertahankan kekuasaannya.

Pemikir lain, Thomas Hobbes, mengibaratkan negara sebagi Leviathan sejenis monster (makhluk rasaksa) yang menakutkan dan bengis Leviathan tidak hanya ditakutki, tapi juga dipatuhi segala perintahnya. Negara Leviathan harus kuat, bila lemah akan timbul anarkhi, perang sipil mudah meletus dan dapat mengakibatkan kekuasaan negara terbelah




(Bersambung)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Recent Posts