Senin, 24 Agustus 2015

Memahami Teori Otoriter [Authoritarian Theory] Pada MASS MEDIA (2/2)

[SAMBUNGAN]

Otoritarian Fasis

Fasisme, yang pertama kali didengungkan oleh Musolini (ITALIA), pada dasarnya adalah sebuah paham politik yang menjunjung tinggi kekuasaan absolute dan memusuhi demokrasi. Tujuan fasisme yang selama ini dianut secara garis besar / umum adalah membuat individu dan masyarakat berpikir dan bertindak seragam. Dan untuk mencapai tujuannya tersebut, para fasisme menggunakan kekuatan dan kekerasan bersama semua dalam metode propaganda. Adolph Hitler adalah salah satu penganut fasisme yang memanfaatkan betul metode propaganda ini dengan slogannya: “Our truth – truth for us.” Ia menjadikan negara sebagai tuhan bagi warganegara, juga bagi semua umat manusia. Fasisme Ala Hitle tidak hanya menjadikan negara diatas segalanya (nasionalis buta) rasialisme (penekanan pada ras), dan rasisme (ras tertentu lebih unggul daripada ras yang mengikuti perbedaan biologis) dan idolatry (pemujaan) terhadap satu sosok pemimpin (Hail Hitler).

 

Aplikasi Tindakan Terhadap Pers

Para pendukung authoritarian ini memiliki pemikiran terkait dengan keberadaan dan kepemilikan media massa. Lihat saja pemikiran Plato. Ia paham betul dampak yang dapat ditimbulkan oleh pemberitaan media massa terhadap opini public, entah itu cepat atau lambat. Itu sebabnya jangan sampai media dimiliki oleh orang orang yang tidak paham tujuan politik dari negara. Plato dan para pendukungnya Semua unit komunikasi public harus dikondisikan sehingga selaras dengan kepentingan penguasa.

Itu sebabnya pertanyaan pertama dibenak pemerintah, saat mesin cetak pertama muncul adalah: siapakah yang memiliki hak untuk menerbitkan surat kabar? Haruskah dimiliki dan dikelola oleh pemerintah? Semi independen dengan dibawah pengawasan ketat dari pemerintah? Atau dibuka kepada siapa saja selama mereka memiliki track-record PRO pemerintah?

Pada akhirnya setiap pemerintah dari jaman ke jaman memilih pendekatan yang berbeda. Authoritarian Government (pemerintah yang otoriter seperti fasis) yang pasti akan menerapkan pengawasan KETAT terhadap operasional dan konten media massa. Inggris, dan negara eropa lain akan memberikan special permit (hak paten) kepada orang orang tertentu yang dekat dengan kerajaan. Sistem kerja seperti ini berlangsung hingga 200 tahun dan berakhir diujung abad ke-17.

Sesudahnya pemerintah otoriter memang memberi kebebasan kepada pihak swasta (private) namun tetap saja memberlakukan sensor (pemotongan bagian tertentu pada konten berita).

Dimasa pemerintahan Stalin dan Musolini, juga Hitler, praktek sensorship sangat banyak dilakukan. Salah satu contohnya adalah pada gambar yang terpublikasi dibawah ini:

Awalnya sensorsip bisa berlangsung lancar karena jumlah media massa yang masih sedikit dan jumlah halaman yang tidak banyak. Namun lama kelamaan hal ini semakin menyulitkan saat industri media semakin berkembang. Keterbatasan jumlah perwakilan pemerintah untuk membaca setiap text dan mensensor sering kali menyebabkan keterlambatan dan melesetnya jadwal terbit. Semua kendala dilapangan ini, ditambah lagi dengan makin berkembangnya paham demokrasi politik membuat sensor tak lagi bisa dilakukan di Inggris dan negara eropa lain.

Cara ketiga untuk mengontrol media massa adalah dengan ancaman penjara atau dengan membawa masalah berita kedalam ranah hukum. Area pelanggaran yang ditetapkan terkait dengan hal ini adalah “treason – sedition” atau “penghianatan – penghasutan”. Kedua hal ini menjadi dasar tuntutan yang dikenakan kepada media yang dianggap “menyinggung” penguasa.

Treason lazimnya dikenakan pada aktifis yang kegiatannya dianggap dapat membahayakan kestabilan bahkan menjatuhkan pemerintah yang berkuasa. Misalnya dengan menyebarkan pamflet dengan caci makin terhadap penguasa. Untuk itu, hukumannya tidak tanggung tanggung yaitu hukuman mati. Sementara pasal penghasutan akan diadili dengan pengadilan criminal. Yang termasuk dengan penghasutan misalnya ketika media menyebut ada petinggi yang korup .Maka penguasa akan berargumen: “berarti publicist menuduh pemerintah telah mengangkat seorang pejabat yagn korup dengan demikian juga secara tidak langsung menuduh pemerintahan adalah korup.” Dengan dalil seperti ini, maka publisis terkait adalah sah untuk dijebloskan ke penjara.

Cara lain, setelah Treason – Sedition adalah dengan menginjek modal kepada media company sehingga pemerintah menjadi salah satu pemegang modal. Dengan demikian kritik terhadap pemerintah otomatis akan berkurang.

Cara lain, yang mungkin tidak secara langsung membunuh atau mengontrol media, adalah dengan menerapkan tariff pajak yang sangat tinggi yang dikaitkan dengan jumlah sirkulasi. Artinya, semakin banyak oplah maka tariff pajak ikut bertambah secara progresif.






Teori Otoritarian vs Soviet Communist
Ada kemiripan antara teori mass media Otoritarian dan Soviet Komunis. Keduanya melegitimasi perlunya otoriter oleh penguasa. Bedanya adalah, komunis menempatkan kaum proletar (kaum buruh) sebagai pusat pemegang kekuasaan yang diwakili oleh Partai Komunis.

Dua hal yang membedakan kedua teori konsep mass media ini adalah: Pertama, Komunis memberi penekanan terhadap penggunaan media massa untuk mempercepat gerakan revolusi. Jadi, bukannya dilarang untuk “menghajar” kebijakan pemerintah justru Komunis memaksa media untuk bersikap demikian. Kedua, dan yang paling kentara adalah bahwa komunis menggerakkan seluruh kegiatan media massa. Sementara pada authoritarian, penguasa masih membolehkan pihak swasta memilikinya tapi dengan sejumlah kontrol.

Authoritarian Di Era Dunia Modern

Saat ini, setelah berakhirnya Perang Dunia II (era Musolini dan Hitler) semua negara sepertinya memang mendukung kebebasan media. NAMUN, sebenarnya seringkali pemerintah yang liberal pun melakukan ‘window dressing’ terhadap media law-nya. Survey dari United Nation menunjukkan bahwa kebebasan berekspresi sebenarnya tidak sebagaimana yang didefinisikan oleh konsep liberal-demokratik.

International Press Institute (Zurich) membagi perlakuan penguasa atas media massa kedalam tiga kategori:

1. Negara yang memberlakukan Press Control secara penuh, seperti: Soviet dan negara bagiannya, China, Yugoslavia, Portugal dan Spanyol

2. Negara yang membolehkan Pers mengkritik, namun dengan sejumlah sensor, seperti: Kolombia, Mesir dan Syria

3. Negara yang secara khusus memiliki UU Media Massa untuk pengetatan, dan ancaman hukuman terhadap media “nakal” seperti: Afrika Selatan, Iran, Pakistan, India, Irak dan Libanon


4. Negara yang punya metoda tidak resmi untuk menekan Pers “nakal”, seperti Turki, Argentina dan Indonesia. Yang diera modern ini sulit untuk dibendung oleh pemerintah otoriter adalah munculnya motion picture (gambar bergerak) yang kemudian ditransmisi lewat gelombang elektromagnetik. Untuk media cetak seperti koran, majalah atau pamflet adalah lebih mudah karena bisa di”tahan” peredarannya secara fisik (oleh tentara, dll). Salah satu cara adalah dengan mengacak frekwensi elektromagnetik, yang pastinya ada dalam kekuasaan pemerintah  

--- ----

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Recent Posts