Hari ini saya menghadiri diskusi (masih) seputar kritik terhadap Media Online. Kali ini topiknya "Media ONLINE: Akurasi vs Kecepatan." Topiknya kira kira pasti rekan sekali sudah bisa menebak kemana arahnya kan? Online sekarang bisa dibilang bersaing dalam KECEPATAN berita. Wajar sih, secara sekarang SEMUA orang juga bisa jadi wartawan, jurnalis. Beritanya juga lintas dunia, kalau dulu audiens terbatas teritori wilayah maka sekarang? NO WAY.......we are living in borderless.
Sayang kecepatan tak diikuti akurasi. Malah kadang kadang berita yang diangkat sangat "abal abal", kalau istilah diskusi tadi TRIVIA. Dari segi jurnalistik, yang namanya berita TRIVIA ini ya yang TIDAK ada added value buat masyarakat banyak. Contohnya: soal kualitas ASI artis XXXX. Apa urusannya kwalitas ASI dia dengan negeri ini? ya kaga ada lah. Tapi dijadiin "berita" juga oleh salah satu media. Nah, issunya adalah selain soal SPEED, online juga dituntut untuk terus ISI KONTEN.
Ya eyaalaaa...namanya juga online, tapi kalo beritanya sehari 5 biji....walahhhhhh. Opone sing update? Nesu......ga ada isi.
Nah, terkait dengan jumlah konten ini, tadi dipaparkan juga bahwa untuk media online yang disurvey oleh pembicara (TEMPO, Kompas, Detik.com) maka yang paling produktif adalah wartawan TEMPO lhooo......jadi dalam sehari SATU wartawan TEMPO menghasilkan 11.6 berita secara rata rata. Detik.com, satu wartawan membuat rata rata 10 berita.
Pembicara dari INDIKATOR INDONESIA paparannya juga menarik. Salah satu poin yang digarisbawahi adalah, ternyata pemuatan berita selama TIGA BULAN berkorelasi dengan voting amount. Artinya, pada pemilu kemarein terpilih bahwa pemenang pemilu (partai maupun sosok) yang mendapat SOROTAN MEDIA ONLINE PALING BANYAK selama TIGA BULAN adalah yang menjadi PEMENANG alias paling banyak dipilih.
Wahhh, berita besar ini. Dan kabar baik buat para pemilik online. Iya dunkkk...apalagi mau jelang PILKADA SERENTAK 2017. Yang ada para kandidat, para Balon (Bakal Calon) bakal "PDKT" ke media2 online terdepan buat dapat peliputan. Yaaahh, kalo uda gini yang jadi korban audiens dehhh. Ampe muntah bakwan (kl muntah darah terlalu seram) karena bosan baca berita para Balon Pilkada.
Nah, bapak ketiga dari Dewan PERS juga menarik salah satu statementnya. Menurut beliau, ada salah persepsi pada media tradisional kita saat ini. Atau kalaupun media online, ada yang SALAH dengan pola pikir media online PERS (bukan blog atau FB/Twitter/dll) sekarang. Para INSAN PERS ini beranggapan bahwa mereka harus BERSAING dengan berita diinternet (online). Sehingga kalau ada berita yang jadi trend topic, digulung oleh online dan jejaring sosial maka SEPERTI ADA KEWAJIBAN bagi pers online untuk menurunkan segera berita tersebut. PADAHAL, menurut bapak dari Dewan Pers ini tidak demikian. "Tetaplah para wartawan dengan kaidah kaidah peliputan yang profesional dan baku. Misalnya sebuah informasi harus di CEK Dahulu valid atau tidak sebelum ditindaklanjuti. Jangan asal comot berita di sosial media lalu dibahas panjang lebar."
Sayang kecepatan tak diikuti akurasi. Malah kadang kadang berita yang diangkat sangat "abal abal", kalau istilah diskusi tadi TRIVIA. Dari segi jurnalistik, yang namanya berita TRIVIA ini ya yang TIDAK ada added value buat masyarakat banyak. Contohnya: soal kualitas ASI artis XXXX. Apa urusannya kwalitas ASI dia dengan negeri ini? ya kaga ada lah. Tapi dijadiin "berita" juga oleh salah satu media. Nah, issunya adalah selain soal SPEED, online juga dituntut untuk terus ISI KONTEN.
Ya eyaalaaa...namanya juga online, tapi kalo beritanya sehari 5 biji....walahhhhhh. Opone sing update? Nesu......ga ada isi.
Nah, terkait dengan jumlah konten ini, tadi dipaparkan juga bahwa untuk media online yang disurvey oleh pembicara (TEMPO, Kompas, Detik.com) maka yang paling produktif adalah wartawan TEMPO lhooo......jadi dalam sehari SATU wartawan TEMPO menghasilkan 11.6 berita secara rata rata. Detik.com, satu wartawan membuat rata rata 10 berita.
Pembicara dari INDIKATOR INDONESIA paparannya juga menarik. Salah satu poin yang digarisbawahi adalah, ternyata pemuatan berita selama TIGA BULAN berkorelasi dengan voting amount. Artinya, pada pemilu kemarein terpilih bahwa pemenang pemilu (partai maupun sosok) yang mendapat SOROTAN MEDIA ONLINE PALING BANYAK selama TIGA BULAN adalah yang menjadi PEMENANG alias paling banyak dipilih.
Wahhh, berita besar ini. Dan kabar baik buat para pemilik online. Iya dunkkk...apalagi mau jelang PILKADA SERENTAK 2017. Yang ada para kandidat, para Balon (Bakal Calon) bakal "PDKT" ke media2 online terdepan buat dapat peliputan. Yaaahh, kalo uda gini yang jadi korban audiens dehhh. Ampe muntah bakwan (kl muntah darah terlalu seram) karena bosan baca berita para Balon Pilkada.
Nah, bapak ketiga dari Dewan PERS juga menarik salah satu statementnya. Menurut beliau, ada salah persepsi pada media tradisional kita saat ini. Atau kalaupun media online, ada yang SALAH dengan pola pikir media online PERS (bukan blog atau FB/Twitter/dll) sekarang. Para INSAN PERS ini beranggapan bahwa mereka harus BERSAING dengan berita diinternet (online). Sehingga kalau ada berita yang jadi trend topic, digulung oleh online dan jejaring sosial maka SEPERTI ADA KEWAJIBAN bagi pers online untuk menurunkan segera berita tersebut. PADAHAL, menurut bapak dari Dewan Pers ini tidak demikian. "Tetaplah para wartawan dengan kaidah kaidah peliputan yang profesional dan baku. Misalnya sebuah informasi harus di CEK Dahulu valid atau tidak sebelum ditindaklanjuti. Jangan asal comot berita di sosial media lalu dibahas panjang lebar."
Tidak ada komentar:
Posting Komentar