Internet
adalah soulmate bagi computer dan
gadget freak.
Apa
yang tidak bisa dicari di’mbah google’?
Lokasi mana yang tidak bisa digapai dengan Google Map? Buat apa buang buang pulsa jika bisa berkomunikasi
dengan Instant Message dipersonal computer.
Kenapa harus stress kalau macet jika ditangan ada gadget yang bisa
browsing? Dan jangan lupakan efek massive dari fenomena Social Media seperti
Facebook, Google+ atau Myspace.
Untuk
memahami fenomena internet ini kita harus mengingat apa yang dikatakan oleh
A.Rubin (2002). Disebutkan bahwa ada dua alasan individu sebelum mengadopsi
satu teknologi: need and want.
Sekarang
ini, memiliki komputer dan internet bukan lagi keinginan tapi sudah menjadi
kebutuhan. Alasan seseorang membeli
komputer, 20 tahun lalu bisa jadi karena menolak untuk mengetik dokumen dengan
mesin ketik manual. Faktor keinginan,
karena sebenarnya mengetik dengan mesin ketik pun tidak masalah jika Anda tidak
keberatan capek sedikit.
Chris
Roberts, PhD bahkan membandingkan
personal computer dengan McDonald. Keduanya menurut Robert menjual produk yang
pada awalnya terasa ‘aneh’ tapi kemudian menjadi komoditas laris. Selain itu
keduanya juga berawal dari Amerika Serikat tapi kemudian menggurita keseluruh
dunia. Terakhir, keduanya berhasil merubah dunia.
Pernyataan
terakhir Robert sangat beralasan.Kini Anda pasti ditertawakan ketika ditanya
alamat E-Mail dan mengatakan: Saya Tidak Punya.
Dan untuk membuat dan berkomunikasi via E-Mail dibutuhkan sebuah
Komputer. Artinya, yang awalnya sebuah keinginan kini menjadi kebutuhan atau
faktor Enabling (Grant, 2010).
Teknologi
tidak pernah lepas dari unsur sosial dan ekonomi (Lin, 1998). Tuntutan untuk tampil
lebih compact, tidak cepat panas dan kapasitas software yang lebih cepat dan
bermemori lebih besar (Singer, 2005) perlahan menggeser PC dengan Laptop.
Komputer jinjing ini bertahan cukup lama sebelum kemudian tergeser oleh format
hardware yang lebih tipis, ringan walau ‘kekuatan’ software tidak secanggih Laptop.
Produk terakhir ini lebih dikenal dengan Netbook.
Netbook
pun tidak bertahan lama apalagi setelah April 2010, Apple mengeluarkan “ipad”
yakni teknologi screen computer dengan virtual keybordnya.
Namun
perkembangan komputer tidak hanya melulu soal hardware seperti masalah ukuran,
berat, tampilan dan seterusnya. Yang lebih penting adalah “otak” dari mesin
tersebut atau dikenal dengan software. Dari puluhan tahun lalu telah diprediksi
bahwa daya berpikir (kepintaran) prosesor akan berkembang 1,5 kali lipat setiap
18 bulan (Moores, 1965). Singkatnya komputer akan bertambah pintar setiap 18
bulan. Benar sekali. Diawal 1990 komputer Anda mungkin masih level 28.6, lalu
menjadi 38.6, 48.6 menjadi Pentium I, II, III, core duo, dan seterusnya.
Ini
semua tidak lepas dari tuntutan user agar teknologi tidak berhenti berinovasi
(Rogers, Everett, 2003) sesuai kebutuhan (Lin, 1998).
*
Komputer
hanya rumah. Tapi yang menghubungkan user dengan dunia adalah inter-NET. Internetlah yang menghubungkan (NETTING) satu
komputer (TCP/IP) dengan komputer lain (TCP/IP). Didalam jaringan (network) tersebut, cara
yang digunakan untuk saling mengakses adalah dengan menggunakan World Wide Web
(Brown & Halter, 2012). Word Wide Web atau yang selanjutnya akan disingkat
Web, juga mengalami perkembangan.
Awalnya
kita mengenal Web 1.0 lalu Web 2.0 dan
kini telah hadir Web 3.0. Sulit untuk menarik garis tegas yang membedakan ketiganya.
Yang pasti Web 1.0 bersifat lebih static, Web 2.0 menjadi lebih interaktif.
Salah satu aplikasinya yang paling banyak digunakan adalah social media. Dan
yang kini mulai banyak digunakan adalah internet Web 3.0. Seri internet web 3.0 ini memungkinkan
penyimpanan data yang sangat besar, dan juga memungkikan analisa atas data data
yang bersifat online.
Cukup
menarik untuk menelusuri bagaimana statistik penggunaan internet di Indonesia,
menurut data yang dirilis oleh Asosiasi Penyedia Jasa Internet Indonesia
(APJII) bulan Januari tahun 2014. Dikatakan bahwa penggunaan terbesar adalah
untuk E-Mail (95,78%) untuk mencari berita/informasi (78,49%), mencari
barang/jasa (77,81%), informasi tender (65%) dan social media (61.23%). Semuanya untuk berkomunikasi, baik itu antar
pribadi (social media, E-Mail), business to business (tender atau took online)
serta mass communication (berita). Jadi, nyatalah bahwa komunikasi via teknologi
pun telah menjadi hal jamak dinegeri ini.
*
Ketika
menganalis perkembangan Teknologi dalam Komunikasi, dalam hal ini di Indonesia,
maka model yang paling tepat digunakan adalah
perspective payung Grant (Grant & Meadows, 2008).
Seperti
yang dimodelkan oleh Grant, level paling bawah adalah unsur user termasuk
perangkat hardware dan software.
Nah,
memang benar bahwa dilevel paling bawah tersebut pada saat ini terjadi difusi
teknologi. Namun apakah ada kesiapan dilevel produksi dari kedua unsur
tersebut? Untuk komputer misalnya,
kendati banyak perakitan telah dilakukan oleh pabrikan Indonesia tapi tetap
saja prosesor atau software kebanyakan didatangkan dari Cina. Mengapa demikian? Untuk menjawabnya kita
harus naik ke level payung berikut yakni system policy. Mengapa sulit mendirikan industry berbasis
R&D diIndonesia? Karena kurangnya fasilitas dari berbagai segi, misalnya
pajak. Akibatnya komputer/laptop/netbook local harganya tidak bisa bersaing
dengan merek luar.
Lalu
bagaimana dengan kesiapan policy untuk internet. Bukan rahasia lagi kebijakan
dibidang telekomunikasi kita masih jauh tertinggal dari negara lain. Monopoli
masih dipegang oleh Telkom, terutama diwilayah wilayah terpencil. Akibatnya
jika jasa penyedia jaringan lain tidak sanggup untuk membangun jaringan baru
didaerah yang ‘kurang maju’ mereka hanya bisa menumpang pada infrastruktur yang
dimiliki oleh Telkom. Jadi jangan heran jika Anda menggunakan internet dari penyedia
jasa layanan non-telkom, didaerah ujung pulau sana, sending datanya masih
sering tersendat-sendat. Dengan kualitas deliverance data yang putus-nyambung,
jangan harap kualitas komunikasi bisa maksimal. Respon e-mail bisnis yang
diminta SEGERA, mungkin baru bisa Anda reply 2 hari berikutnya.
Dari
pemaparan diatas bisa kita lihat bahwa sebaran internet/web communication juga
tergantung dari perkembangan ekonomi
(Grant,2010). Pertumbuhan
ekonomilah yang menimbulkan adanya demand infrastructure termasuk dibidang
teknologi (Ball-Rokeach, 1985). Huawei,
misalnya, tidak akan berminat membangun tower atau jaringan fiber optic untuk
koneksi 3G dipelosok Papua yang untuk makanpun penduduknya masih belum
mampu. Disinilah tantangan pemerintah
(national policy) untuk memeratakan pembangunan.
Tapi,
bukan berarti diwilayah maju seperti Jakarta tidak ada masalah. Perhatikan
dilevel tengah perspective Grant ada unsur ‘organizational structure’. Menarik melihat bagaiman divisi
Marketing/Sales dan Divisi Operasional/Teknologi dari sebuah perusahaan
komunikasi selevel Indosat (misalnya) tidak bisa bersinergi. Divisi Marketing begitu agresif merangkum dan
membundel produk produk paket internet dan voice untuk mengadopsi kebutuhan
user. Sayangnya hal ini tidak didukung
dengan pertambahan jalur koneksi. Akibatnya? Pengiriman data menjadi lelet dan
ujung ujungnya slowdown bagi bisnis telekomunikasi.
Bottle
neck pertama muncul antara unsur unsur pada Organizational Structure (internal
issue).
Bottle
neck kedua antara unsur payung Organizational Structure dengan unsur top level
yakni system policy disektor ekonomi dan bisnis. Mampukah pemerintah membuka keran investasi
dengan memberikan sejumlah fasilitas untuk mendukung manufaktur software, juga
memboosting pertumbuhan ekonomi untuk menciptakan demand.
Bottle
neck ketiga yang juga tidak kalah menarik adalah kesiapan payung hukum terutama
ketika kita bicara soal hak cipta dan cyber terrorism atau sering disebut
hacker.
Ketika
bottle neck ini yang menyebabkan adopsi teknologi untuk komunikasi di Indonesia
masih sering menimbulkan ekses ekses negative. Jika ditarik benang merah, maka
PR pertama bukan pembenahan teknologi. Sebaliknya, penyempurnaan payung
kebijakan pendukung.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar