Senin, 08 September 2014

Wartawan: Dijauhi atau Didekati?

Saya rasa judul saya diatas termasuk pertanyaan retoris. Atau tidak?

Apapun itu, yang jelas sayang disayangkan ada banyak pihak yang memilih untuk menjauhi media/wartawan/jurnalis/pers. Alasannya beragam: mulai dari takut salah ngomong trus ngerusak citra perusahaan, takut diancam, takut diberitain yang jelek jelek, takut dipalakin dan beragam jawaban yang sering membuat saya, sebagai Media Trainer, bengong sendiri.

Yap....saya literally bengong.

"Koq orang bisa sejelek itu sih sama wartwawan,"kira kira begitu isi pikiran saya pas pertama mendengar alasan narasumber menghindari pers. Jujur, semua persepsi negatif itu salah besar. Anda mungkin berkata, "ah, sok teuu lu."  Bukan sok teu....emang teuuu, lha wong saya sembilan tahun jadi wartawan, dan enam tahun berikutnya ngajarin/ngasi kelas ke wartawan. Jadi, saya tau betul cara kerja dan cara berpikir wartawan.

Nah, ada beberapa hal penting yang akan saya jelaskan secara ringkas. Saya tidak akan berpanjang lebar karena perlu sesi tersendiri untuk itu.

Pertama, menghindari wartawan hanya akan membuat media curiga Anda menyembunyikan sesuatu.

Kedua, siapa bilang media hanya menulis berita buruk? Anda pasti pernah dong membaca headline koran "INDONESIA JUARA XXXXX" atau "Inflasi berhasil ditekan ke satu digit"  atau "Pertumbuhan tahun ini meningkat XXXXX"  "XXXX dari Indonesia Meraih Juara Olympiade Fisika" dan seterusnya. Itu semua BUKAN berita buruk.

Ketiga, TIDAK benar wartawan identik dengan minta uang. Saya akui ada oknum2 nakal dilapangan. Tapi profesi apa yang tidak begitu? Yang pasti, sebagian besar wartawan top tier justru 'anti amplop'. Kalau wartawan ecek ecek...ya cuekin saja mereka.

Kesimpulan, Anda harus mendekati atau lebih tepatnya membina relasi dengan media.

Tentu, ada strategi yang profesional untuk itu. :D

(end)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Recent Posts