Rabu, 17 September 2014

Komunikasi Era Digital: Makin Maju atau Makin Dungu (2/2)


Robert Fidler dalam bukunya “Mediamorphosis: Understanding The New Media” (Pine Forge Press, 1997) menjelaskan bahwa teknologi berevolusi bukan seketika tetapi bertahap, melengkapi kekurangan teknologi yang sebelumnya. 

Teknologi komunikasi (media) bisa saja berubah dan berkembang dengan agresif. Namun, keputusan untuk mengadopsi perubahan tetap ada ditangan pengguna (individu dan organisasi).

Carolyn A.Lin, profesor komunikasi dari University of Connecticut menyatakan bahwa adopsi teknologi antara lain dipengaruhi oleh faktor sosial (Lin, 1998). Faktor ini tidak hanya mempengaruhi keputusan individu (mikro) tapi juga organisasi bahkan negara (makro).  Faktor sosial ini misalnya tuntutan untuk tampil selfie, sebuah fenomena global sejak dua tahun terakhir. Untuk mengadopsi euphoria global ini, produsen smartphone seperti Samsung, Lenovo dan lain lain harus mendevelop fitur-fitur baru pada camera smartphone mereka. Media komunikasi memfasilitasi naluri memuja diri sendiri pada diri manusia, yang tidak jarang berakibat fatal seperti ditabrak kendaraan ketika selfie, atau jatuh ke jurang seperti yang beberapa waktu lalu terjadi.

Seperti yang diungkapkan oleh Lin (1998), adopsi juga terjadi dilevel makro dalam hal ini negara. Salah satu faktor misalnya adanya Globalisasi. Pasar perdagangan menjadi borderless, melebar tidak lagi hanya dalam kawasan regional (Asean, Asia, Afrika, Amerika) tapi jadi mendunia.  Keterbukaan, dan perdagangan lintas benua menjadi faktor makro tumbuhnya teknologi.

Faktor makro lain, misalnya keterbatasan sumber daya alam yang mendorong dunia beramai ramai melaksanakan kampanye “hemat energy”.  Hemat penggunaan bahan bakar (mobil, pesawat, dst).  Wujud dari kampanye global ini, dalam konteks bisnis adalah: untuk meeting dengan klien beda negara tidak perlu bepergian menggunakan pesawat terbang cukup dengan teleconference.  Merespon tuntutan bisnis untuk Go Global, telepon analog pun bermediamorphosis menjadi Internet Telephoni atau VoIP (Valdes,2010).
*
Jika ditelusuri lebih lanjut, kemajuan ini sebenarnya telah menggeser fungsi awal teknologi, yakni sebagai extension (perpanjangan) atau alat bantu menjadi penguasa dalam kehidupan manusia.  Individu tidak lagi melihat teknologi sebagai sebuah supporting tools melainkan simbol sosial (gengsi).  Itu sebabnya tidak jarang orang memiliki handphone lebih dari satu walau tidak terlalu membutuhkan (Wei,2006). Atau mengupdate laptop dengan model tercanggih walau program yang digunakan hanya Microsoft Word untuk mengetik dokumen.  Atau lebih parah lagi, membeli smartphone dengan operating system (OS) 8 tapi hanya dipakai untuk Short Message.

Perubahan perilaku serta mindset dari semula mengadopsi teknologi  karena alasan kegunaan, menjadi alasan lain seperti soal gengsi sangat tidak sesuai dengan Perspektif Payung Grant (2010).

Grant(2010) menyebutkan bahwa salah satu unsur dari adopsi teknologi adalah:  ENABLING. Artinya, individu atau organisasi mengadopsi satu teknologi karena kemampuan teknologinya. Anehnya, sekarang pemakaian teknologi terutama pada level mikro (perorangan) lebih untuk fungsi non teknis. Itu artinya “payung Motivasi” yang disebutkan oleh Grant, juga telah gugur. Motivasi pembeli teknologi kini tidak selalu karena evolusi teknologi tapi lebih sering karena faktor iklan, dari media televisi atau word of mouth (Fulk et.al, 1990).

Rasionalisasi alasan kenapa orang menggunakan teknologi komunikasi tertentu dijelaskan dalam sebuah riset oleh A.Rubin (2002).  Pada dasarnya ada dua alasan utama: needs and wants.  Pendekatan Rubin lebih relevan dan tajam untuk kondisi sekarang ini, apalagi di Indonesia. Bayangkan Indonesia adalah pasar mobile phone terbesar ke-6 didunia, setelah China, India, USA, Brazil dan Rusia. Apakah itu karena adanya kebutuhan untuk mobile phone? Atau sekedar untuk gaya hidup (wants) mengingat pendapatan perkapita penduduk Indonesia sebenarnya jauh dibawah negara negara lain.

Era masyarakat digital juga ditandai dengan adanya konvergensi media. Untuk media pertelevisian misalnya RCTI, kini stasiun ini konvergen dengan Koran SINDO dan seputarindonesia.com.  Fenomena ini mendorong terjadinya duplikasi berita diruang redaksi. Belum lagi jika aktualitas divisi yang satu berbeda dengan yang lain. Koran SINDO memuat berita sesuai update sore kemaren, RCTI sesuai berita update sejam lalu, sementara portal seputar-indonesia dengan updater terkini 5 menit yang lalu. Padahal, ketiganya berada pada payung perusahaan yang sama. Itu sama saja dengan saling membunuh diantara ‘saudara sekandung’.
*

Kini, dunia telah terdeterminasi oleh teknologi .  Technology become prime mover (Chandler, 2000).  Benarkah?  Sepertinya begitu. Bahkan telah membawa dunia kehilangan value humanism (Lenhart et al, 2007,p.5)  Riset yang dilakukan The Kaiser Family Foundation (2010) secara detail menjabarkan bagaimana manusia tenggelam didalam dunia digital (internet, games, video online) dan dan lebih gemar bersosialisasi didunia maya.   

Relasi manusia mulai tergantikan dengan relasi digital.

Koneksi tatap muka berganti menjadi pertemuan ‘user name - to another user name’.  Identitas manusia disimbolkan pada ‘User Name’ entah itu pada facebook, Blackbery Messanger, Twitter, atau user name pada linkedin. 

Manusia tidak lagi dikenal sebagai SOSOK, tetapi deretan informasi profil pada portal sosial media.
Gesture digantikan oleh iconic.

Ironis!

Fulk et.al (2010) menguraikan bagaimana pilihan penggunaan media (analog vs digital) dipengaruhi oleh kedekatan hubungan manusia. Ia mencontohkan bahwa ketika akan memutuskan hubungan, orang akan memilih komunikasi tatap muka dibanding mengirim text message.  Agaknya Fulk harus merevisi contoh ini karena penggunaan text message kini telah melangkahi batas relasi pribadi dan urgensi.  Contoh yang terakhir ini misalkan skandal Bank Century saat Sri Mulyani dan Jusuf Kalla berdebat soal ada tidaknya komunikasi soal rencana penutupan bank dikirimkan via SMS.  Bayangkan, isu nasional sepenting itu dikomunikasikan via short message.

Perkembangan teknologi tidak lepas dari nilai nilai budaya dan relasi manusia Arnold Pacey (2000). Ia mengkritik orang-orang yang berpikiran karena teknologi identik dengan ‘mempermudah sesuatu’ (efisiensi) maka harus dipakai atau digunakan. Ia menolak anggapan bahwa teknologi adalah jawaban atas segala masalah (ketergantungan). 

Kritik Pacey (2000) adalah teguran keras bagi para inventor dan pemuja teknologi.  Karena jika ketergantungan dan determinasi ini dibiarkan menghapuskan budaya keseharian yang sifatnya ‘human touch’ dan ‘human interest’ maka bukannya menuju modernisasi bisa bisa peradaban asli manusia malah memudar dan lama lama jadi punah.   

Kesannya pintar dan modern, padahal sesungguhnya menjadi dungu.
(end)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Recent Posts