Rabu, 17 Februari 2016

Marxisme Pada MEDIA & BUDAYA [Bag 1]



[tulisan ini adalah bagian dari makalah akademis pada paskasarjana UPH]
----------


MARXISME PADA MEDIA DAN BUDAYA

Jika Hegel memandang bahwa perkembangan sejarah manusia ditentukan oleh perkembangan gagasan atau ide (deterministic gagasan/abstrak) maka Marx berpegang pada segala sesuatu yagn sifatnya materiil.  Karl Marx sendiri adalah seorang Economic Theorist pada awal abad ke-10. Fokusnya adalah pada relasi antara kehidupan sosial politik dengan kekuatan ekonomi. 

Bagi Marx segala sesuatu yang sifatnya immaterial seperti konseptual, gagasan, bahkan kepercayaan (agama) adalah sesuatu yang semu belaka.  “Tidak ada gunanya ide bagus, demokrasi dan musyarakat selama perut kaum miskin masih lapar,” demikian kurang lebih gagasan dasar yang membuat Marxist menolak deteriministik ide ala Hegel dan menggantinya menjadi Deterministik Materiil (produksi) ala Karl Marx. 

Ketika memandang sejarah peradaban manusia, maka Marx membaginya dalam empat tahapan dimana puncaknya adalah komunisme: 

Pertama, masyarakat feodalisme, dimana faktor-faktor produksi berupa tanah pertanian dikuasai oleh tuan-tuan tanah.
 
Kedua, pada masa kapitalisme hubungan antara kekuatan dan relasi produksi akan  berlangsung, namun karena terjadi peningkatan output dan kegiatan ekonomi, sebagaimana feudalisme juga mengandung benih kehancurannya, maka kapitalisme pun akan hancur dan digantikan dengan masyarakat sosialis

Ketiga, masa sosialisme dimana relasi produksi mengikuti kapitalisme masih mengandung sisa-sisa kapitalisme, dan

Keempat, pada masa komunisme, manusia tidak didorong untuk bekerja dengan intensif uang atau materi.

Didalam masyarakat, pertentangan atau konflik menurut Marx terjadi karena adanya perebutan kepentingkan antara kelas borjuis yang pada akhirnya menggilas kelas buruh atau proletar.  Itu sebabnya ia mengusulkan ‘Masyarakat Tanpa Kelas’ sebagai sebuah jalan keluar menunju kesejahteraan. 

Sementara pada Liberalisme, perbedaan klas sama sekali tidak dilihat sebagai sebuah konflik. Perbedaan lebih diartikan sebagai sebuah persaingan. Sesuatu yang wajar, karena “berbeda adalah wajar” karena setiap kelompok atau klas memiliki fungsi yang khusus didalam kehidupan bermasyarakat. Pandangan seperti ini disebut dengan “Functionalist Model of Society”. Jadi, kaum buruh misalnya memang berfungsi sebagai pekerja. Lalu, mereka yang memiliki modal sebagai tuan/management, aparat sebagai penegak hukum, media sebagai watchdog dan sarana informasi dan seterusnya. Keseluruhan bagian ini menyatu (kohesif) dan bergerak secara parallel dalam sebuah system sosio-budaya.  Seperti disebut diatas, konsep Functionalist model ini ditentang oleh Marx karena akan menimbulkan konflik didalam masyarakat.

Selain soal perebutan kepentingan antara kelas, konflik dalam paham Marxist juga bisa terjadi karena klas dominan dalam rangka mempertahankan kekuasaannya akan berusaha ME-LEGITIMASI ide dan nilai-nilai mereka.  Ide dan nilai yang dilegitimasi ini disebut IDE-OLOGI. Dengan kata lain,  IDEOLOGI (seperti Pancasila atau Demokrasi) bukanlah sesuatu yang luhur didalam pandangan Marxis.  Ideologi tak lain dari sebuah pemahaman yang semu, yang sengaja dipropagandakan oleh klas tertentu untuk memperkuat posisinya.

 Nah, ideologi seperti ini yang terus menerus dicekoki kebenak masyarakat oleh kelompok penguasa untuk mempertahankan status quonya. Logikanya adalah, untuk berkuasa maka klas dominan membutuhkan MASSA. Untuk mencapai massa, mereka membutuhkan sebuah MEDIA. Inilah yang melahirkan media massa, yakni sebagai alat klas dominan. 

[BERSAMBUNG]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Recent Posts